Tentang Ucapan: "Andaikata"
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahid muallim
Firman Allah Ta'ala
(artinya):
"Mereka (orang-orang munafik) mengatakan:
'Andaikata kita memiliki sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya
(kita tidak akan terkalahkan dan) tidak akan ada yang terbunuh di antara kita
di sini (maksudnya: dalam perang Uhud)'. Katakanlah: 'Kalaupun kamu berada di
rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu
keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh. Dan Allah (berbuat demikian) untuk
menguji (keimanan) yang ada dalam dadamu dan untuk membuktikan (niat) yang ada
dalam hatimu. Dan Allah Maha Mengetahui isi segala hati." (Ali Imran: 154)
"Orang-orang yang mengatakan kepada
saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang: 'Andaikata mereka
mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh.' Katakanlah: 'Tolaklah kematian
itu dari dirimu, jika kamu orang-orang yang benar'." (Ali Imran: 168)
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Abu
Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
Sallam bersabda:
"Bersungguh-sungguhlah dalam menuntut apa yang
bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu)
serta janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah. Apabila kamu tertimpa suatu
kegagalan, janganlah kamu berkata: 'Seandainya aku berbuat demikian, tentu
tidak akan begini atau begitu', tetapi katakanlah: 'Ini telah ditakdirkan oleh
Allah; dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki'; karena ucapan 'seandainya'
akan membuka (pintu) perbuatan syetan."
Kandungan tulisan ini:
- Tafsiran
kedua ayat dalam surah Ali Imran. Kedua ayat di atas menunjukkan larangan
mengucapkan "Andaikata" atau "Seandainya" dalam
hal-hal yang telah ditakdirkan oleh Allah terjadi, dan ucapan demikian
termasuk sifat-sifat munafik; juga menunjukkan bahwa konsekwensi iman
ialah pasrah dan ridha kepada takdir Allah, serta rasa khawatir seseorang
tidak akan dapat menyelamatkan dirinya dari takdir tersebut.
- Dilarang
dengan tegas untuk mengucapkan "andaikata" atau
"seandainya" apabila mendapat suatu musibah atau kegagalan.
- Alasannya,
bahwa ucapan tersebut akan membuka pintu perbuatan syetan.
- Bimbingan
yang diberikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam (ketika
menjumpai suatu kegagalan atau mendapat suatu musibah), yaitu supaya
mengucapkan perkataan yang baik (dan bersabar serta mengimani bahwa apa
yang terjadi adalah takdir Allah).
- Diperintahkan
supaya bersungguh-sungguh dalam menuntut segala yang bermanfaat (untuk di
dunia dan di akhirat), dengan senantiasa memohon pertolongan Allah.
- Dilarang
bersikap sebaliknya, yaitu bersikap lemah.
Dikutip dari buku: "Kitab
Tauhid" karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Penerbit: Kantor Kerjasama Da'wah dan Bimbingan Islam, Riyadh 1418 H.
Penyakit-Penyakit Hati
Al-Imam Ibnu Abil 'Izzi
Pengantar:
Untuk sedikit menambah pengetahuan kita tentang penyakit hati, berikut ini
akan saya kutipkan risalah dari buku "Tahdzib Syarh
Ath-Thahawiyah..." karya Syeikh Abdul Akhir Hammad Alghunaimi. Akan
tetapi, barangkali risalah itu sendiri lebih tepat disebut karya Al-Imam Ibnu
Abil 'Izzi, karena beliaulah yang menulisnya sebagai syarh (penjelasan) dari
kitab Aqidah yang disusun oleh Imam Ath-Thahawi yang dikenal dengan kitab
"Aqidah Thahawiyah". Sedang Syeikh Abdul Akhir Hammad Alghunami adalah
yang melakukan tahdzib (penataan ulang). Semoga bermanfaat.
Hati itu dapat hidup dan dapat mati, sehat dan sakit. Dalam
hal ini, ia lebih penting dari pada tubuh.
Allah berfirman, artinya:
"Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami
berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan
di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada
dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya."
(Al-An'am : 122)
Artinya, ia mati karena kekufuran, lalu Kami
hidupkan kembali dengan keimanan. Hati yang hidup dan sehat, apabila ditawari
kebatilan dan hal-hal yang buruk, dengan tabi'at dasarnya ia pasti menghindar,
membenci dan tidak akan menolehnya. Lain halnya dengan hati yang mati. Ia tak
dapat membedakan yang baik dan yang buruk.
Dua Bentuk Penyakit Hati:
Penyakit hati itu ada dua macam: Penyakit syahwat
dan penyakit syubhat. Keduanya tersebut dalam Al-Qur'an.
Allahberfirman,artinya: "Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara
(melembut-lembutkan bicara) sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit
dalam hatinya. " (Al-Ahzab:32)
Ini yang disebut penyakit syahwat.
Allah
juga berfirman, artinya:
"Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya..."
(Al-Baqarah : 10)
Allah juga berfirman, artinya:
"Dan adapun orang yang didalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah
kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada)."
(At-Taubah : 125)
Penyakit di sini adalah penyakit syubhat. Penyakit
ini lebih parah daripada penyakit syahwat. Karena penyakit syahwat masih bisa
diharapkan sembuh, bila syahwatnya sudah terlampiaskan. Sedangkan penyakit
syubhat, tidak akan dapat sembuh, kalau Allah tidak menanggulanginya dengan
limpahan rahmat-Nya.
Seringkali penyakit hati bertambah parah, namun
pemiliknya tak juga menyadari. Karena ia tak sempat bahkan
enggan mengetahui cara penyembuhan dan sebab-sebab (munculnya) penyakit
tersebut. Bahkan terkadang hatinya sudah mati, pemiliknya belum juga sadar
kalau sudah mati. Sebagai buktinya, ia sama sekali tidak merasa sakit akibat
luka-luka dari berbagai perbuatan buruk. Ia juga tak merasa disusahkan dengan
ketidak mengertian dirinya terhadap kebenaran, dan keyakinan-keyakinannya yang
batil. "Luka, tak akan dapat membuat sakit orang mati."
*). Terkadang ia juga merasakan sakitnya. Namun ia tak sanggup mencicipi
dan menahan pahitnya obat. Masih bersarangnya penyakit tersebut di hatinya,
berpengaruh semakin sulit dirinya menelan obat. Karena obatnya dengan melawan
hawa nafsu. Itu hal yang paling berat bagi jiwanya. Namun baginya, tak ada
sesuatu yang lebih bermanfaat dari obat itu. Terkadang, ia memaksa dirinya
untuk bersabar. Tapi kemudian tekadnya mengendor dan bisa meneruskannya lagi.
Itu karena kelemahan ilmu, keyakinan dan ketabahan.
Sebagai halnya orang yang memasuki jalan angker yang akhirnya akan membawa dia
ke tempat yang aman. Ia sadar, kalau ia bersabar, rasa takut itu sirna dan
berganti dengan rasa aman. Ia membutuhkan kesabaran dan keyakinan yang kuat,
yang dengan itu ia mampu berjalan. Kalau kesabaran dan keyakinannya mengendor,
ia akan balik mundur dan tidak mampu menahan kesulitan. Apalagi kalau tidak ada
teman, dan takut sendirian.
Menyembuhkan
Penyakit Dengan Makanan Bergizi dan Obat:
Gejala
penyakit hati adalah, ketika ia menghindari makanan-makanan yang bermanfaat
bagi hatinya, lalu menggantinya dengan makanan-makanan yang tak sehat bagi
hatinya. Berpaling dari obat yang berguna, menggantinya dengan obat yang
berbahaya. Sedangkan makanan yang paling berguna bagi hatinya adalah makanan
iman. Obat yang paling manjur adalah Al-Qur'an masing-masing memiliki gizi dan
obat. Barangsiapa yang mencari kesembuhan (penyakit hati) selain dari Al-kitab
dan As-sunnah, maka ia adalah orang yang paling bodoh dan sesat. Sesungguhnya
Allah berfirman:
"Katakanlah: "Al-qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi
orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga
mereka ada sumbatan, sedang Al-qur'an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka
itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat jauh."
(Fushshilat : 44)
Al-qur'an adalah obat sempurna untuk segala
penyakit tubuh dan hati, segala penyakit dunia dan akherat. Namun
tak sembarangan orang mahir menggunakan Al-qur'an sebagai obat. Kalau si sakit
mahir menggunakannya sebagai obat, ia letakkan pada bagian yang sakit, dengan
penuh pembenaran, keimanan dan penerimaan, disertai dengan keyakinan yang kuat
dan memenuhi syarat-syaratnya. Tak akan ada penyakit yang membandel. Bagaimana
mungkin penyakit itu akan menentang firman Rabb langit dan bumi; yang apabila
turun di atas gunung, gunung itu akan hancur, dan bila turun di bumi, bumi itu
akan terbelah? Segala penyakit jasmani dan rohani, pasti terdapat dalam
Al-qur'an cara memperoleh obatnya, sebab-sebab timbulnya dan cara
penanggulangannya. Tentu bagi orang yang diberi kemampuan mamahami kitab-Nya.
*) [Penggalan akhir bait sya'ir
Al-Mutanabbi, yang mana penggalan awalnya adalah: "Orang yang hina,
akan mudah mendapat kehinaan"]
Dikutip dari: Abdul Akhir Hammad Alghunaimi,
"Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah Dasar-dasar 'Aqidah Menurut Ulama Salaf",
penerjemah: Abu Umar Basyir Al-Medani, Pustaka At-Tibyan, buku 2, Cetakan I,
2000, hal 264-266.
KEUTAMAAN TAWAKAL
Allah berfirman,
"Karena
itu hendaklah kepada Allah saja orang-oang Mukmin bertawakal". (Ali
Imran: 122)
"Dan, barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya". (Ath-Thalaq: 33)
Di dalam hadits diriwayatkan,
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyebutkan bahwa di antara
umatnya ada tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab. Kemudian
beliau bersabda,
"Yaitu
mereka yang tidak membual, tidak mencuri, tidak membuat ramalan yang
buruk-buruk dan kepada Rabb mereka bertawakal".
(Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim)
Dari Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu
Anhu, dia berkata, "Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda,
"Andaikan
kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Dia kan
menganugerahkan rezki kepada kalian sebagaimana Dia menganugerahkan rezki
kepada burung, yang pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar, lalu kembali pada
sore hari dalam keadaan kenyang." *)
Diantara doa yang dibaca Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam ialah:
"Ya
Allah, sesungguhnya aku memohon taufik kepada-Mu untuk mencintai-Mu daripada
amal-amal, kebenaran tawakal dan baik sangka kepada-Mu".
(Hadits mursal, diriwayatkan Abu Nu'aim)
Tawakal harus didasarkan kepada
tauhid. Adapun tauhid itu ada beberapa tingkatan. Diantaranya:
- Hati
harus membenarkan wahdaniyah, yang kemudian diterjemahkan lewat kata-kata la
ilaha illallahu wahdahu la syarika lahu lahul-mulku wa lahul-hamdu wa huwa
'ala kulli syai'in qadir. Jika dia membenarkan lafazh ini, namun tidak
mengetahui dalilnya, berarti itu merupakan keyakinan orang awam.
- Hamba
melihat berbagai macam benda yang berbeda-beda, lalu melihatnya berasal
dari satu sumber. Ini kedudukan orang-orang yang taqarab.
- Hamba
melihat dari mata hatinya bahwa tidak ada yang bisa berbuat kecuali Allah
dan dia tidak memandang kepada selain Allah. Kepada-Nya dia takut dan
kepada-Nya pula dia berharap serta bertawakal. Karena pada hakekatnya
Allahlah satu-satunya yang bisa berbuat. Dengan kemahasucian-Nya semua
tunduk kepada-Nya. Dia tidak mengandalkan hujan agar tanaman bisa tumbuh,
tidak mengandalkan kepada mendung agar hujan turun, tidak mengandalkan
kepada angin untuk menjalankan perahu. Bersandar kepada semua ini
merupakan ketidaktahuan terhadap hakekat segala urusan. Siapa yang bisa
menyibak berbagai hakikat tentu akan mengetahui bahwa angin tidak
berhembus dengan sendirinya. Angin itu harus ada yang mengerakkannya. Seseorang
yang melihat angin sebagai penyelamat, serupa dengan orang yang ditangkap
untuk dipenggal lehernya. Lalu setelah dilaporkan kepada raja, ternyata
raja mengeluarkan lembaran catatan yang isinya memaafkan kesalahannya.
Lalu dia banyak bercerita tentang tulisan dalam catatan itu, bukan melihat
kepada siapa yang menggerakkan pulpen dan menuliskan catatan itu. Tentu
saja ini suatu kebodohan. Siapa yang tahu bahwa pulpen tidak mempunyai
kekuasaan hukum, tentu dia kan
berterimakasih kepada orang-orang yang telah menggunakan pulpen itu, bukan
kepada pulpennya. Semua makhluk di dalam kekuasaan Khaliq, lebih nyata
daripada sekedar pulpen di tangan orang yang menggunakannya. Allahlah yang
menciptakan segala sebab dan berkuasa untuk berbuat apa pun menurut
kehendak-Nya.
Footnote:
*) Hadits tersebut di takhrij oleh Imam Ahmad (1/30), At-Tirmidzi (2/55),
Al-Hakim (4/318) dari Hayah bin Syuraih: "Telah bercerita kepadaku Bakar
bin 'Amer, bahwa dia mendengar Abdullah bin Hubairah, yang mengatakan bahwa
Ibnu Hubairah mendengar Abu Tamim Al-Jisyani memberitahukan bahwa ia mendengar
Umar bin Al-Khatab ra yang mengatakan: "Sesungguhnya dia telah mendengar
Nabi saw bersabda: (lalu menyebutkan hadits di atas). Selanjutnya Imam
At-Tirmidzi berkata: "Hadits ini ber-sanad shahih dan hasan."
Sedangkan Imam Al-Hakim berkomentar : "Hadits tersebut shahih dipandang
dari segi sanad-nya." Pernyataan senada juga ditegaskan oleh Adz-Dzahabi.
Al-Albani berkomentar: Sebenarnya hadits di atas adalah shahih sesuai syarat
Imam Muslim. Karena perawi-perawinya adalah perawi yang dipakai oleh
Asy-Syaikhain, kecuali Ibnu Hubairah dan Abu Hatim, kedua perawi yang akhir ini
adalah perawi Iman Muslim. Hadits di atas juga memiliki hadits mutabi' riwayat
Ibnu Luhai'ah dari Ibnu Hubairah. Hadits di atas juga di-takhrij Imam Ahmad
(1/52) dan Ibnu Majah (hadits no. 4164). Menurut Ibnu Majah, dia mendapat hadits
tersebut dari riwayat Abdullah bin Wahab, yang juga ber-sanad shahih. (Syaikh
Muhammad Nashiruddin A-Albani, "Silsilah Hadits Shahih" jilid 2,
Pustaka Mantiq, 1996, Hal: 132-133)
Dikutip dari: Al-Imam Asy-Syeikh Ahmad bin
Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisy, "Muhtashor Minhajul Qoshidin, Edisi Indonesia:
Minhajul Qashidhin Jalan Orang-orang yang Mendapat Petunjuk", penerjemah:
Kathur Suhardi, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta Timur, 1997, hal. 423-431
Tanda-Tanda
Sakit Hati Dan Mengembalikannya Agar Sehat Kembali Serta Cara Mengetahui Orang
Lain Dan Aib Dirinya
Ibnu Qudamah
Halaman satu dari
dua tulisan
Pengantar:
Ibnu Qudamah pengarang kitab fikih Al-Mughni telah meringkas kitab Minhajul
Qoshidin karya Abul Faraj bin Jauzi (Ibnu Jauzi). Kitab ini penuh berisi
nasehat yang disajikan berdasarkan kepada dalil-dalil syar'i dengan
memperhatikan keshahihan hadits, seperti diterangkan dalam muqodimahnya. Boleh
jadi mushanif (pengarang) tidak mencantumkan, Allah berfirman... atau
Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam bersabda..., akan tetapi tamsil dan
untaian kalimatnya yang penuh hikmah merupakan pengejawantahan dari qur'an dan
sunnah itu sendiri. Jadi kalau kita cari bisa kita dapatkan sederet dalil yang
mendukung hujjah (argumentasi)nya. Di sisi lain kitab ini sampai pada kita
lewat tangan dua ulama salaf ahlus sunnah yang diakui keilmuannya, hingga
cukuplah kiranya untuk memberi kita kemantapan dalam menerima nasehatnya. Saya
sampaikan ini karena saya dengar ada di antara kita yang ragu-ragu dalam
mengambil hikmah dari kitab ini. Berikut ini adalah sekelumit nasehat yang saya
ambil dari kitab tersebut. Boleh jadi ia menjadi obat mujarab bagi yang
membutuhkan kendati saya sendiri tak kuasa menelannya. Agar tidak terlalu
panjang saya potong jadi dua. (ALS)
Setiap anggota badan manusia
diperuntukkan untuk tugas yang khusus. Adapun tanda sakitnya ialah
ketidakmampuannya melaksanakan tugas itu, atau tugas itu bisa dilaksanakan
dalam keadaan kacau. Tangan yang sakit terlihat dari ketidakmampuannya
memegang. Mata yang sakit terlihat dari ketidakmampuannya melihat. Hati yang
sakit terlihat dari ketidakmampuannya melaksanakan tugas khusus yang karenanya
ia diciptakan, yaitu ilmu, hikmah, ma'rifat, mencintai Allah dan beribadah
kepada-Nya serta mementingkan semua ini daripada setiap bisikan nafsu.
Orang yang mengetahui segala sesuatu, tetapi tidak
mengetahui Allah, seakan-akan dia tidak mengetahui sesuatu pun.
Tanda ma'rifat adalah cinta. Siapa yang mengetahui
Allah tentu mencintai-Nya. Adapun tanda cinta adalah tidak mementingkan sesuatu
dari sekian banyak hal-hal yang dicintainya daripada Allah. Siapa yang lebih
mementingkan sesuatu yang dicintainya daripada cintanya kepada Allah, berarti
hatinya sakit, sebagaimana perut yang yang lebih suka memakan tanah daripada
roti, maka perutnya tidak beres alias sakit.
Penyakit hati ini tersembunyi. Boleh jadi
pemiliknya tidak tahu, karena itu dia mengabaikannya. Kalau pun tahu, mungkin
dia tidak sabar menanggung pahitnya obat, karena obatnya adalah menentang
nafsu. Kalaupun dia sabar, belum tentu dia mendapatkan dokter yang bisa
mengobatinya. Dokter di sini adalah para ulama. Sementara penyakit pun sudah
menjangkiti mereka. Dokter yang sakit jarang yang mau mengobati orang lain yang
sakit, sehingga penyakit menjadi menyebar kemana-mana dan ilmu pun hilang, obat
hati dan penyakit hati sama-sama dibiarkan, manusia hanya sekedar melakukan
ibadah-ibadah zhahir, sedangkan di dalam batinnya hanya sekedar tradisi.
Inilah yang disebut tanda sumber penyakit.
Untuk mengetahui keadaan agar segar kembali setelah
berusaha melakukan pengobatan ialah dengan melihat jenis penyakitnya.
Pengobatan penyakit kikir ialah dengan mengeluarkan harta, tapi tidak perlu
berlebih-lebihan dan boros. Penyakit lain dengan pengobatannya sendiri-sendiri,
seperti panas dengan dingin agar tidak semakin panas dan tidak menjadi terlalu
dingin, agar tidak menjadi penyakit baru. Yang dituntut adalah jalan tengah.
Jika engkau ingin melihat jalan tengah ini,
lihatlah kepada dirimu sendiri. Jika menumpuk harta dan mempertahankannya lebih
engkau sukai dan lebih mudah daripada mengeluarkannya sekalipun kepada orang
yang berhak, maka ketahuilah bahwa yang ada pada dirimu adalah sifat kikir.
Maka obatilah jiwamu dengan mengeluarkan harta itu. Jika mengeluarkan harta itu
kepada orang, yang lebih engkau sukai, maka tahanlah sedikit harta itu, karena
yang ada pada dirimu adalah pemborosan. Janganlah engkau lebih condong untuk
mengeluarkan harta atau menahannya. Buatlah harta itu mengalir seperti air di
sisimu. Engkau tidak menuntut air itu untuk berhenti bukan untuk suatu
keperluan, atau mengalirkannya secara deras untuk orang yang memerlukannya.
Setiap hari yang bisa seperti itu akan mendatangi Allah dalam keadaan selamat.
Seseorang harus terbebas dari segala akhlak
(jelek), agar dia tidak mempunyai hubungan dengan sesuatu pun dari keduniaan,
agar jiwa dapat meninggalkan dunia dalam keadaan memutuskan hubungan dengannya,
tidak menoleh kepadanya dan tidak mengharapkannya. Pada saat itu dia akan
kembali kepada Rabb-nya sebagaimana kembalinya jiwa yang muthma'inah.
Karena jalan tengah yang hakiki antara dua sisi itu
cukup sulit dideteksi, bahkan lebih lembut daripada sehelai rambut dan lebih
tajam daripada pedang, maka tidak aneh siapa yang bisa melewati jalan yang
lurus ini di dunia, tentu akan bisa melewati jalan ini pula di akherat. Karena
sulitnya istiqomah, maka hamba diperintahkan membaca,
"Ihdinash-shirathal-mustaqim" beberapa kali setiap hari. Siapa yang
tidak sanggup istiqamah, hendaklah dia berusaha mendekati istiqamah, karena
keselamatan itu hanya dengan amal shalih. Sementara itu, amal yang shalih tidak
keluar kecuali dari akhlak yang baik. Maka hendaklah setiap hamba mencari sifat
dan akhlaknya sendiri, hendaklah mengobati satu persatu dan hendaklah bersabar
dalam masalah ini (karena dia akan mendapatkan keadaan yang enak seperti halnya
anak kecil yang tadinya enggan disapih, tapi lama-kelamaan dia merasa enaknya
di sapih. Bahkan andaikan dia ditawari untuk menyusu lagi, tentu dia akan
menolaknya). Siapa yang menyadari umur yang pendek jika dibanding dengan
kehidupan akherat yang panjang, maka dia akan berani menanggung beratnya
perjalanan selama beberapa hari, untuk mendapatkan kenikmatan yang abadi.
Dikutip dari: Al-Imam Asy-syeikh Ahmad bin
Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisy, "Muhtashor Minhajul Qoshidin, Edisi Indonesia:
Minhajul Qashidhin Jalan Orang-orang yang Mendapat Petunjuk", penerjemah:
Kathur Suhardi, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta Timur, 1997, hal. 193-195.
Riya Termasuk Syirik Kecil
Syeikh Sulaiman bin Abdullah
A. WASPADA TERHADAP RIYA
Keterangan beberapa hadits:
"Sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa
kamu sekalian ialah syirik paling kecil. Maka beliau ditanya tentang itu.
Beliau berkata: Riya" (HR. Ahmad)
Hadits tersebut disitir oleh syeikh Muhammad bin
Abdul Wahab (dalam kitab Tauhid) tanpa mengulas panjang lebar. Hadits ini juga
diriwayatkan oleh Thabrani, Ibnu Abid Dunya dan Baihaqi di dalam Az Zahdu.
Berikut ini lafaz Ahmad: Yunus menceritakan
kepadaku, menceritakan kepadaku Laits dari Yazid, yakni Ibnu Ilhad, dari Amru
dari Mahmud bin Labid.
"Bahwa Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya yang paling aku
khawatirkan menimpa kamu sekalian ialah syirik yang paling kecil. Mereka
bertanya: Apakah itu syirik yang paling kecil ya Rasulullah? Beliau menjawab:
Riya! Allah berfirman pada hari kiyamat, ketika memberikan pahala terhadap
manusia sesuai perbuatan-perbuatannya: Pergilah kamu sekalian kepada
orang-orang yang kamu pamerkan perilaku amal kamu di dunia. Maka nantikanlah
apakah kamu menerima balasan dari mereka itu."
Sabda beliau: Sesungguhnya yang paling aku
khawatirkan menimpa kamu sekalian ialah syirik yang paling kecil. Ini
karena kasihnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap ummat dan
belasnya kepada mereka dan memperingatkan terhadap apa yang ditakutkan yang
akan merongrong ummatnya. Maka kebaikanlah bagi manusia setelah ditunjukkan
oleh beliau karena waspada dan khawatir terhadap riya itu.
Nabi
saw bersabda:
"Allah tidak membangkitkan seorang pun Nabi kecuali benar adanya,
menunjukkan ummatnya kepada kebaikan yang diketahuinya untuk mereka dan
melarang mereka itu terhadap kejahatan yang diketahuinya."
B. GODAAN RIYA
Dan tatkala jiwa-jiwa berambisi tertarik kepada
wibawa dan kedudukan di dalam hati manusia -kecuali tentunya jiwa orang-orang
yang diselamatkan oleh Allah, tidak ambisius- ini adalah godaan yang paling
dikhawatirkan oleh orang-orang shaleh, karena kuatnya godaan kepadanya,
sedangkan orang yang terpelihara ialah barangsiapa yang dipelihara oleh Allah.
Hal yang serupa ini, berbeda dengan ajakan kepada
syirik besar, karena godaan ini adakalanya tidak tergores di dalam hati
orang-orang mukmin yang sempurna, dan oleh sebab itu terdapatnya mereka dalam
neraka lebih gampang lagi daripada kekufuran. Adakalanya godaan ke sana adalah lemah, ini
beserta keselamatan. Dan adakalanya dengan bala bencana, maka Allah menetapkan
mereka yang beriman dengan kemantapan dalam kehidupan dunia dan akherat.
Sedangkan orang-orang yang zalim itu adalah
menyesatkan dirinya sendiri dan Allah memperbuat apa-apa yang dikehendakinya.
Justru itulah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sangsi dan kuatir
terhadap ummatnya tergoda oleh riya, lebih sangat karena kuat daya tariknya,
bisa tergiur karena banyaknya daripada syirik besar.
Bersamaan dengan itu, Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam memberitahukan bahwa pasti terjadi penyembahan berhala di
kalangan ummatnya. Lalu beliau memperingatkan, bahwa seyogyanya bagi manusia
takut dirinya ditimpa oleh syirik besar, sedangkan orang-orang yang shaleh
khawatir terhadap syirik yang paling kecil, karena semuanya itu mengurangi iman
dan maksiat kepada Allah, ini kehendak dari syeikh kita (Muhammad bin Abdul
Wahab). Beliau juga menyimpulkan bahwa di dalamnya terdapat keterangan bahwa
riya itu adalah termasuk syirik, dan walaupun terkecil namun ditakuti menimpa
orang-orang yang shaleh dan didalamnya terdapat pendekatan syurga dan neraka,
seakan-akan berbarengan keduanya: Amal sama macamnya, rupanya juga sama, lagi
mirip.
Dikutip dari: Syeikh Sulaiman bin Abdullah bin
Muhammad bin Abul Wahhab, "Taisirul 'azizil hamid fi syarhi kitabit
tauhid ,Edisi Indonesia:
Ketuhanan Yang Maha Esa Menurut Islam", penerjemah: Drs. Ja'far
Soejarwo., Al Ikhlas, Surabaya,
1986, hal. 152-153,
Riya Lebih Tersembunyi Daripada Rambatan Semut
Al-Imam Asy-syeikh Ahmad bin Abdurrahman bin
Qudamah Al-Maqdisy (Ibnu Qudamah)
Pengantar:
Duhai betapa beruntung pembaca e-mail ini dan betapa rugi penulisnya. Antum
mendapatkan air jernih darinya sementara penulisnya mendapat air keruh. Tapi
inilah perdagangan yang saya tawarkan. Bila hati pembaca lebih bersih maka
itulah yang diharapkan, dengan tanpa terkotorinya hati penulis tentunya. Bila
yang terjadi adalah sebaliknya maka Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah tempat
meminta pertolongan, dan segala kebaikan yang ada berasal dari Allah Yang Maha
Tunggal semata.
Al-'alamah Ibnu Qudamah memberikan uraian tentang Riya', Hakekat, Pembagian dan
Celaannya, termasuk keterangan riya' yang menggugurkan amal dan yang tidak,
obat dan cara mengobati riya' dan sebagainya. Uraiannya yang berdasar
keterangan dari qur'an dan sunnah cukup jelas, dapat membuat takut orang yang
terlalu beharap hingga meremehkan dan memberikan harapan kepada orang yang
terlalu takut. Berikut ini saya kutipkan beberapa paragraf dari nasehat beliau
yang bisa di jadikan perhatian agar kita bisa hati-hati, karena ini masalah
hati. (ALS)
Ketahuilah bahwa kata riya' itu
berasal dari kata ru'yah (melihat), sedangkan sum'ah (reputasi)
berasal dari kata sami'a (mendengar). Orang yang riya' menginginkan agar
orang-orang bisa melihat apa yang dilakukannya.
Riya' itu ada yang tampak dan ada pula yang
tersembunyi. Riya' yang tampak ialah yang dibangkitkan amal dan yang dibawanya.
Yang sedikit tersembunyi dari itu adalah riya' yang tidak dibangkitkan amal,
tetapi amal yang sebenarnya ditujukan bagi Allah menjadi ringan, seperti orang
yang biasa tahajud setiap malam dan merasa berat melakukannya, namun kemudian
dia menjadi ringan mengerjakannya tatkala ada tamu di rumahnya. Yang lebih
tersembunyi lagi ialah yang tidak berpengaruh terhadap amal dan tidak membuat
pelaksanaannya mudah, tetapi sekalipun begitu riya' itu tetap ada di dalam
hati. Hal ini tidak bisa diketahui secara pasti kecuali lewat tanda-tanda.
Tanda yang paling jelas adalah, dia merasa senang
jika ada orang yang melihat ketaatannya. Berapa banyak orang yang ikhlas
mengerjakan amal secara ikhlas dan tidak bermaksud riya' dan bahkan
membencinya. Dengan begitu amalnya menjadi sempurna. Tapi jika ada orang-orang
yang melihat dia merasa senang dan bahkan mendorong semangatnya, maka
kesenangan ini dinamakan riya' yang tersembunyi. Andaikan orang-orang tidak
melihatnya, maka dia tidak merasa senang. Dari sini bisa diketahui bahwa riya'
itu tersembunyi di dalam hati, seperti api yang tersembunyi di dalam batu. Jika
orang-orang melihatnya, maka bisa menimbulkan kesenangannya. Kesenangan ini
tidak membawanya kepada hal-hal yang dimakruhkan, tapi ia bergerak dengan
gerakan yang sangat halus, lalu membangkitkannya untuk menampakkan amalnya,
secara tidak langsung maupun secara langsung.
Kesenangan atau riya' ini sangat tersembunyi,
hampir tidak mendorongnya untuk mengatakannya, tapi cukup dengan sifat-sifat
tertentu, seperti muka pucat, badan kurus, suara parau, bibir kuyu, bekas
lelehan air mata dan kurang tidur, yang menunjukkan bahwa dia banyak shalat
malam.
Yang lebih tersembunyi lagi ialah menyembunyikan
sesuatu tanpa menginginkan untuk diketahui orang lain, tetapi jika bertemu
dengan orang-orang, maka dia merasa suka merekalah yang lebih dahulu
mengucapkan salam, menerima kedatangannya dengan muka berseri dan rasa hormat,
langsung memenuhi segala kebutuhannya, menyuruhnya duduk dan memberinya tempat.
Jika mereka tidak berbuat seperti itu, maka ada yang terasa mengganjal di dalam
hati.
Orang-orang yang ikhlas senantiasa merasa takut
terhadap riya' yang tersembunyi, yaitu yang berusaha mengecoh orang-orang
dengan amalnya yang shalih, menjaga apa yang disembunyikannya dengan cara yang
lebih ketat daripada orang-orang yang menyembunyikan perbuatan kejinya. Semua itu
mereka lakukan karena mengharap agar diberi pahala oleh Allah pada Hari Kiamat.
Noda-noda riya' yang tersembunyi banyak sekali
ragamnya, hampir tidak terhitung jumlahnya. Selagi seseorang menyadari darinya
yang terbagi antara memperlihatkan ibadahnya kepada orang-orang dan antara
tidak memperlihatkannya, maka di sini sudah ada benih-benih riya'. Tapi tidak
setiap noda itu menggugurkan pahala dan merusak amal. Masalah ini harus dirinci
lagi secara detail.
Telah disebutkan dalam riwayat Muslim, dari hadits
Abu Dzarr Radliyallahu Anhu, dia berkata, "Ada orang yang bertanya,
"Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat engkau tentang orang yang
mengerjakan suatu amal dari kebaikan dan orang-orang memujinya?" Beliau
menjawab, "Itu merupakan kabar gembira bagi orang Mukmin yang diberikan
lebih dahulu di dunia."
Namun jika dia ta'ajub agar orang-orang tahu kebaikannya dan memuliakannya,
berarti ini adalah riya'.
Dipetik dari: Al-Imam Asy-syeikh Ahmad bin
Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisy , "Muhtashor Minhajul Qoshidin,
Edisi Indonesia:
Minhajul Qashidhin Jalan Orang-orang yang Mendapat Petunjuk",
penerjemah: Kathur Suhardi, Pustaka al-Kautsar, Jakarta Timur, 1997, hal.
271-286.
Siapa Yang Mencaci Masa Maka Dia Telah Menyakiti
Allah
Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab
Firman Allah Ta'ala (artinya):
"Dan
mereka berkata: 'Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja,
kita mati dan kita hidup; dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa',
dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak
lain hanyalah menduga-duga saja." (Al-Jatsiah: 24)
Diriwayatkan
dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
"Allah
Ta'ala berfirman: "Manusia menyakiti Aku: dia mencaci maki masa, padahal
Aku adalah Pemilik dan Pengatur masa, Aku-lah yang mengatur malam dan siang
menjadi silih berganti"."
Disebutkan
dalam riwayat lain: "Janganlah kamu mencaci masa karena Allah sesungguhnya
adalah Pemilik dan Pengatur masa."
Orang-orang
jahiliyah, kalau mereka tertimpa suatu musibah, bencana atau malapetaka, mereka
mencaci masa. Maka Allah melarang hal tersebut, karena yang menciptakan dan
mengatur masa adalah Allah Yang Maha Esa. Sedangkan menghina pekerjaan
seseorang, berarti menghina orang yang melakukan pekerjaan itu. Dengan
demikian, mencaci masa berarti mencela dan menyakiti Allah sebagai Pencipta dan
Pengatur masa.
Kandungan
tulisan ini:
- Dilarang mencaci
masa.
- Mencaci masa disebut
menyakiti Allah.
- Perlu direnungkan
sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: "Karena Allah
sesungguhnya adalah Pemilik dan Pengatur masa." Sabda beliau itu
menunjukkan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini adalah
dengan takdir Allah, karena itu wajib bagi seorang muslim untuk beriman
dengan qadha' dan qadar, yang baik maupun yang buruk, yang
manis maupun yang pahit.
- Mencaci, mungkin
saja, dilakukan seseorang tanpa bermaksud demikian dalam hatinya.
Dikutip dari buku: "Kitab Tauhid"
karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Penerbit: Kantor Kerjasama Da'wah dan Bimbingan Islam, Riyadh 1418 H.